Menulis adalah
pembelajaran panjang, bahkan sampai saat ini. Sepertinya tidak ada kata tuntas
dalam belajar menulis, sebab cara dan gaya menulis selalu berkembang. Sejak
tahun 2007, saya sudah jatuh cinta dengan menulis. Kesenangan mengungkapkan
banyak hal melalui sebuah tulisan, entah lewat catatan sederhana semacam ini,
lewat puisi, cerpen atau bahkan novel.
Menulis
novel—meski lewat buku tulis—menjadi semacam terapi tersendiri ketika masih
duduk di bangku Aliyah, cara lain mengatasi psikologi hidup yang rumit. Di masa
awal perkuliahan, menulis puisi menjadi “obat” tersendiri, sampai terkumpul
lebih dari 200 puisi.
Semua itu
bukan karena uang, lebih karena kesenangan, atau lebih tepatnya keterwakilan
perasaan. Seringkali orang bertanya, menulis begitu dapat uang berapa?
Pertanyaan yang super konyol, sebab segala sesuatu hampir dikaitkan dengan
uang. Meski tetap saja ada jalan mendapatkan uang banyak dan melimpah dari
menulis, misalkan menjadi ghost writer.
Saya sendiri
juga menulis konten, yang dari konten tersebut mendapatkan bayaran. Juga pernah
bekerja di media yang tentu kita akan dibayar karena jeri payah menulis kita,
entah menulis artikel, berita atau laporan wawancara. Namun kepuasan lain, yang
tak ternominalkan, salah satunya dengan membuat catatan sederhana semacam ini.
Entah kenapa,
kadang-kadang saya perlu menuliskan sebuah obrolan, perjumpaan, kesan,
peristiwa, dan lain sebagainya. Menggali sisi lain yang belum tergali. Mungkin
ini disebut passion atau sejenisnya, sebab tidak berfikir apakah saya akan
dibayar ketika menulis catatan sederhana semacam ini.
Meski kalau
diposting di website, tetap akan ada nilai nominal karena menggunakan google
adsense, namun itu bukan tujuan utama. Bukan pula berkeinginan agar tenar dan
dipuja, lebih baik orang “mengenal” tulisan saya, daripada mengenal diri saya
sebagai penulisnya. Sebab apalah arti itu semua.
Menulis
sebagai gerakan
Kira-kira
sejak 2008, saya turut andil menjadi bagian dari “gerakan menulis”. Meski
apakah layak menulis disebut sebagai gerakan, namun bagaimana bila ada
sekelompok orang berkumpul dan bersama-sama mempertajam kemampuan menulisnya?
Barangkali itu bisa disebut gerakan.
Setiap hari
minggu siang, kami berkumpul untuk sekedar sharing. Bukan meluangkan waktu,
tapi karena bagi saya itu prioritas, sehingga sudah terjadwal rapi. Kadang
masuk ke sekolah-sekolah untuk kampanye menulis, atau misal diundang ke
forum-forum diskusi untuk berbagai tips dan trik. Atau juga, melayani
permintaan teman yang mulai tertarik untuk menulis.
Sehingga label
sebagai penulis itupun melekat. Meski kadang sungkan juga disebut penulis,
karena meski sudah banyak membuat tulisan, artikel, esai, berita atau karya
semisal puisi dan cerpen, namun dibandingkan yang lain, yang sudah memiliki
belasan bahkan puluhan buku, apalah artinya saya. Atau dibandingkan mereka yang
karyanya banyak nangkring di koran dan majalah.
Di laptop
pribadi, saya membuat folder khusus yang menampung tulisan-tulisan saya.
Totalnya lebih dari 2000 judul. Jadi, tak terasa, saya sudah menulis lebih dari
2000 judul dari berbagai bentuk. Terbanyak tentu catatan semacam ini, sisanya
mungkin puisi yang tak terpublikasi. Itu belum termasuk artikel konten yang
saya buat, yang tentu tak bernama alias tak tercantum nama penulisnya.
Lantas
mungkinkah berhenti menulis?
Beberapa
aktivitas baru sempat terfikirkan, misalkan dengan mulai belajar berbinis
dengan memanfaatkan layanan start up. Apalagi beberapa media online yang
saya kelola juga akan habis awal januari, sementara mungkin akan diteruskan tim
yang lain, lainnya mungkin akan dibiarkan kadaluwarsa. Termasuk media komunitas
yang saya terlibat menjadi pengelolanya.
Berhentinya
menulis, pada akhirnya juga akan mengurangi aktivitas di komunitas kepenulisan
(literasi) yang selama ini saya ikuti. Waktu yang selama ini saya dedikasikan
untuk menulis, entah menulis untuk kesenangan atau pendapatan, tentu akan
berganti dengan aktivitas lain.
Jika setiap
pagi saya menulis artikel konten sampai kira-kira jam 10, dan meluangkan waktu
untuk membuat catatan sederhana semacam ini selepas subuh atau sore hari, maka
barangkali aktivitas tersebut juga akan berganti.
Dengan
mengurangi aktivitas menulis artikel konten, tentu akan ada banyak waktu luang.
Anda tahu betapa menulis artikel konten, selain aktivitas menulisnya, juga
mencari sumber-sumbernya yang jelas menyita waktu. Ya, meski ada bayaran untuk
itu, yang membuat bertahan untuk menulis.
Namun menulis
artikel konten besar kemungkinan akan saya tinggalkan, dan sempat berganti
untuk membuat konsep baru, yang kembali menguatkan sisi jurnalisme. Rindu untuk
kembali wawancara, bertanya sekaligus mendengar banyak cerita inspiratif dari
para penggerak dalam segala bidang.
Apakah itu
mungkin terwujud?
Disisi lain,
saya juga ingin mendalami bisnis. Terdengar lucu, namun begitulah adanya. Orang
tua saya hidup dari berdagang. Meski saya tidak (atau belum) memiliki kemampuan
dalam hal tersebut, namun gejolak jiwa yang ingin bebas, tanpa terikat,
barangkali muncul dari situ.
Pada intinya,
ada sebagian manusia yang tidak ingin melakukan hal yang sama dalam waktu yang
terlalu lama. Saya barangkali salah satunya. Menulis jadi semacam ritus dari
kehidupan yang selama ini saya jalani, tentu akan sangat sulit melepaskannya.
Beberapa
wartawan, penulis, atau bahkan penyair banyak pula yang “berhenti” dari
aktivitasnya, lalu secara ekstrem memulai aktivitas baru. Sebagian ke politik,
menjadi pegawai, mengelola bisnis, sampai ada yang memilih mengelola hutan
sengon. Entah karena bosan, atau mungkin karena tuntutan ekonomi, aktivitas
menulis ditinggalkan sama sekali.
Sisa beberapa
hari di tahun 2017 ini, akan menjadi perenungan mendalam bagi diri saya. Batang
usia yang terus bertambah, yang sudah melebihi dua dasawarsa. []
Blitar, 24
Desember 2017
Ahmad Fahrizal
Aziz
www.fahryzal.com
0 Komentar