Blitar – Fatwa haram terhadap penggunaan sound system "horeg" (sound keras dengan musik remix di acara hajatan) dinilai tidak akan terlalu digubris. 

Hal itu disampaikan oleh Ahmad Fahrizal Aziz, aktivis literasi dan Co-founder Insight Blitar Media, menanggapi pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pelarangan penggunaan sound horeg yang dianggap mengganggu.

"Fatwa itu sifatnya saran dan opini keagamaan. Ia bukan hukum positif yang mengikat secara legal, melainkan seruan moral," ujar Fahrizal dalam keterangannya, Selasa (9/7).

Menurutnya, dalam tradisi keilmuan Islam, sangat mungkin muncul fatwa atau kajian tandingan yang bersifat kontra. 

"Dan itu hal yang sehat dalam dinamika pemikiran. Maka hasil Batsaul Masail itu perlu dihargai sebagai tradisi keilmuan," tambahnya.

Lebih jauh, Fahrizal menekankan bahwa sound horeg bukan sekadar praktik budaya, tetapi telah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi masyarakat. 

Ia menyebutkan bahwa pelarangan ini akan menyentuh aspek penghidupan banyak orang.

"Perputaran uang dari sound horeg tidak kecil. Ada pengadaan alat, jasa sewa, teknisi, hingga penyelenggaraan event. Ini soal perut, dan ketika menyangkut ekonomi rakyat, resistensinya pasti tinggi," jelasnya.

Fahrizal juga menilai bahwa realitas sosial tidak bisa disederhanakan hanya melalui pendekatan normatif, perlu kajian komprehensif dari semua sektor.

Apalagi, fatwa ini tidak dikeluarkan oleh lembaga negara atau aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk menindak.

"Realitas tak bisa dilihat dari satu aspek saja, perlu dipertimbangkan aspek lainnya, dan kita tidak bisa menyamakan fatwa dengan regulasi hukum formal. Dalam konteks negara, hanya pemerintah dan lembaga hukum yang punya otoritas mengatur secara mengikat," pungkasnya.

Fatwa haram terhadap sound horeg yang ramai diperbincangkan ini menambah daftar panjang tarik-ulur antara norma agama dan praktik sosial yang hidup di tengah masyarakat. []


✏️ Linda