Pagi di Desa Penataran selalu datang pelan-pelan, seperti embun yang enggan meninggalkan daun jati. 

Matahari merayap dari balik bukit, menimpa halaman Museum Penataran yang lengang. 

Bangunannya sederhana—dinding putih, atap merah, dan ruang pamer semi-terbuka yang membiarkan angin pegunungan melewati sela-sela. 

Di kejauhan, suara anak-anak dari kolam renang bersahut-sahutan, sementara pepohonan di sekitar Candi Penataran berdiri seperti penjaga setia masa lalu.

Di sinilah Aray berdiri, menenteng tas selempang lusuh. Ia baru turun dari ojol dan masih sempat menyeka keringat di pelipis. 

Meski udara masih sejuk, Aray selalu berkeringat kalau sedang gugup. 

Dan hari itu, ia memang gugup—bukan karena ujian kuliah atau presentasi skripsi, tapi karena sebuah mimpi kecil yang ia simpan diam-diam: menemukan jejak masa lalu kakeknya.

***

Kakeknya dulu adalah penjaga kebersihan di pendopo kabupaten, tempat benda-benda purbakala dikumpulkan sejak tahun 1866 oleh Bupati Warsokusumo. 

Kakek sering bercerita bahwa ia pernah melihat arca-arca Majapahit sebelum dipindah ke Penataran. 

Namun Aray, waktu itu masih bocah, tak pernah benar-benar mengerti apa istimewanya arca tanpa kepala atau batu bertulisan aneh.

Kini, setelah dewasa, ia justru merasa ditarik kembali oleh cerita-cerita itu.

***

Museum itu sepi. Penjaganya saja belum tampak. Hanya terdengar gesekan sapu dari halaman samping. 

Aray melangkah masuk pelan, seperti masuk ke ruang tamu seorang raja yang sudah lama wafat.

Di ruang Arkeologi, sinar pagi merambat melalui jendela besar, menyinari arca Brahma, Wisnu, Siwa, dan Durga Mahisasuramardini. Realistis sekali—seolah mata Durga mengikutinya.

Aray merinding kecil tapi tak mundur.

“Permisi… sudah buka?” suara Aray nyaris tenggelam oleh gema ruangan.

Seorang bapak berseragam dinas keluar dari balik lorong, wajahnya ramah dan tenang, seperti sudah terbiasa bertemu orang yang tersesat waktu.

“Sudah, Mas. Silakan lihat-lihat. Pagi begini biasanya sepi.”

Aray mengangguk. “Terima kasih, Pak.”

Ia berjalan pelan, membaca label demi label. Arca Siwa Trisirah. Prasasti Kinewu dari tahun 829 M. Lingga-yoni Majapahit. Lesung batu sepanjang tubuh manusia dewasa. 

Bahkan cikar besar yang seakan bisa bergerak kapan saja jika seseorang meniupkan mantra.

Semakin lama, langkah Aray makin lambat. Ada yang terasa janggal—seakan setiap artefak memanggilnya dengan suara yang ia kenal… tapi dari masa sebelum ia lahir.

Sampai akhirnya ia berhenti pada sebuah arca Ganesha kecil. Tidak besar, tapi punya postur yang tegas. Pada bagian belakangnya tergores tulisan halus berbahasa Jawa Kuno.

Aray melangkah mendekat. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Itu bukan karena sosok Ganesha yang berwajah tenang.

Tapi karena ia pernah melihat tulisan itu sebelumnya.

Di buku catatan tua kakeknya.

***

Ia membuka tas selempang dan mengeluarkan buku tipis bersampul cokelat, ujung-ujungnya sudah digerogoti waktu. 

Catatan kakek: daftar benda yang pernah ia bersihkan, singkat-singkat saja, seperti laporan harian seorang petugas kebersihan.

Namun ada satu catatan berbeda.

Satu kalimat yang ditulis kakek dengan tinta biru, hurufnya sedikit bergetar.

“Arca Ganesha ingkang nyimpen pepeling, ojo nganti ilang.”

Ganesha yang menyimpan pengingat. Jangan sampai hilang.

Aray menelan ludah. Ia menghadap arca itu lagi.

Mungkinkah ini Ganesha yang dimaksud?

Ia menyentuh bagian alas arca, perlahan. Dingin. Seperti menyentuh air sumur di musim kemarau.

Namun begitu jarinya menyentuh salah satu sisi yang sedikit retak, sesuatu terjadi.

Suara lirih—entah dari mana—mengalun pelan, seperti gumaman seorang tua yang sedang mendongeng.

“Peninggalan bukan hanya batu. Ia adalah waktu yang membatu.”

Aray terhenyak. Ia menatap kanan-kiri. Ruang pamer tetap sepi.

Lalu ia menatap arca itu lagi.

Dan sekejap saja, museum yang tadi hening berubah. Bukan berubah fisiknya, tapi berubah rasanya. 

Seolah Aray sedang berada di dua masa sekaligus: masa kini, dan masa ketika arca-arca ini masih berdiri di candi-candi yang belum runtuh.

Angin dingin berhembus dari lorong.

Entah dari ruang etnografi, entah dari masa lalu.

***

“Mas?”

Suara penjaga museum memecah lamunannya.

Aray tersentak hampir menjatuhkan buku catatan kakeknya.

“Mas, saya lihat dari jauh seperti nglamun. Gak apa-apa?”

Aray mengangguk cepat. 

“Tidak apa-apa, Pak. Saya cuma… merasa seperti pernah melihat arca ini.”

Penjaga tersenyum kecil. 

“Banyak yang merasa begitu. Benda-benda ini memang punya daya. Apalagi yang dulunya disimpan di pendopo lama. Banyak warga Blitar yang punya keterikatan tanpa sadar.”

Aray mengangguk pelan. Kali ini ia tidak membantah.

“Apa Mas pengen tahu cerita lebih banyak soal arca itu?” tanya penjaga.

Aray menatap arca Ganesha lagi.

Matanya yang bulat penuh rasa penasaran, belalainya yang melengkung tenang, dan tulisan tua di belakang badan.

“Boleh, Pak.”

Penjaga itu berjalan ke arahnya.

“Tapi nanti saja,” katanya sambil membuka pintu samping menuju taman kecil. 

“Kalau cerita tentang masa lalu, enaknya di luar. Biar angin ikut mendengarkan.”

Aray tersenyum.

Ia menutup buku kakeknya dan menyimpannya kembali ke tas.

Dalam hati ia tahu satu hal: hari itu ia tidak hanya mengunjungi museum. Ia sedang membuka kembali pintu yang ditinggalkan kakeknya—pintu menuju waktu yang tak pernah benar-benar pergi.

Dan Museum Penataran… adalah gudang waktunya.

***

Hari itu, Aray pulang dengan rasa yang tak bisa ia jelaskan. Campuran lega, rindu, dan sebuah tanya yang menggantung di dadanya:

Jika masa lalu bisa berbisik melalui batu, pesan apa lagi yang belum ia dengar?