Harapan untuk Blitar dalam Lembaran Puisi
Oleh Dhilan Baskara
Kamis, 15 Mei 2025, saya menghadiri sebuah peristiwa yang lebih dari hanya menyentuh sisi sastra, tetapi juga menyuarakan semangat baru bagi Blitar.
Di sebuah halaman berterop, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Blitar, berlangsung bedah buku Dari Blitar untuk Indonesia jilid II, yang kali ini mengusung tema Harapan untuk Blitar.
Buku ini merupakan antologi puisi yang disusun oleh Tim Suara Sastra, berisi suara-suara penuh harap dari para penulis Blitar Raya.
Acara dimulai pukul sembilan pagi dan berakhir sekitar pukul setengah satu siang. Diselenggarakan dengan tertib dan penuh kehangatan, forum ini melibatkan sastrawan dan pendidik, serta dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat.
Perwakilan dari PKK Kabupaten Blitar, Dharma Wanita, Perpustakaan Bung Karno, Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, serta Lembaga Pers Mahasiswa Laun STIT Muslihuun dan Bhanu Tirta turut menyimak jalannya diskusi.
Beberapa kontributor puisi yang karyanya termuat dalam buku pun hadir, menyatu dalam pertemuan yang penuh makna.
Puput Amiranti, seorang guru dari SMKN Nglegok, tampil sebagai pembedah utama, dengan analisis tajam, ia membongkar makna di balik larik-larik puisi dalam buku ini.
Baginya, puisi bukan semata soal estetika, melainkan ruang ungkapan yang meresap dari pengalaman hidup, cinta terhadap tanah kelahiran, dan kegelisahan sosial.
Ia menunjukkan bagaimana puisi-puisi dalam buku ini menampilkan wajah Blitar dari sudut pandang yang jujur—kadang melankolis, kadang menggugat, namun selalu penuh harapan.
Jon Blitar, yang menjadi penyunting buku, berbagi cerita tentang proses penyusunan naskah. Ia menyampaikan bahwa antologi ini adalah hasil seleksi dari puluhan karya penulis lintas generasi.
Melalui proses penyuntingan, ia mencari bukan hanya keindahan bunyi, tetapi juga keutuhan gagasan. Hasilnya adalah buku yang mencerminkan semangat kolektif untuk memajukan Blitar melalui kekuatan kata.
Moderator Ahmad Fahrizal Aziz memandu jalannya diskusi dengan santai namun tajam. Ia membuka ruang refleksi bagi pembaca, pembicara, dan hadirin untuk melihat sastra sebagai sesuatu yang dekat dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari, bukan sebagai hal yang elitis.
Saya sempat membuka versi digital buku ini melalui tautan flipbook resmi. Isinya kaya warna. Ada puisi tentang sawah, tentang ibu guru, tentang sejarah kota, hingga keresahan remaja yang gamang menghadapi masa depan. Tidak ada suara yang dominan.
Setiap penyair berbicara dengan gaya dan caranya masing-masing, tetapi semua berpulang pada satu tujuan: menyuarakan cinta dan harapan untuk Blitar.
Bedah buku ini juga diselingi pembacaan puisi langsung dari para kontributor. Beberapa pembacaan begitu menyentuh, seolah puisi itu lahir dari dada sendiri, bukan hanya dibacakan.
Penonton menyimak dengan tenang, beberapa mencatat, sebagian lain hanya diam dengan wajah penuh kesan.
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Blitar layak diapresiasi. Mereka menyediakan ruang baca sekaligus ruang dialog, tempat sastra hidup dalam lemari kaca, dan hadir di tengah masyarakat.
Acara seperti ini membuktikan bahwa literasi adalah peristiwa yang bisa menggerakkan hati dan pikiran, bukan hanya angka statistik.
Buku Dari Blitar untuk Indonesia jilid II bukanlah kumpulan puisi biasa. Ia adalah dokumen kultural, saksi diam tentang bagaimana masyarakat Blitar terus menumbuhkan harapan di tengah perubahan zaman.
Melalui bait dan baris, para penulis muda dan tua menjahit kembali hubungan mereka dengan tanah kelahiran.
Dalam dunia yang serba cepat, buku ini mengajak kita untuk sejenak memperlambat langkah. Untuk mendengar suara dari balik lereng Kelud, dari jalanan Kota Blitar, dari ruang kelas, dari ladang, dari angkringan, dari hati-hati yang belum selesai mencintai Blitar.
Dan bagi saya, harapan itu hidup dalam setiap kata yang dituliskan.
0 Komentar