Dunia media sedang mengalami pergeseran besar. Jika dulu media mainstream seperti koran, televisi, dan portal berita besar menjadi sumber utama informasi masyarakat, kini posisi mereka mulai digeser oleh media skala mikro. Hal itu disampaikan Fahrizal Aziz, pegiat media dari Insight Blitar.

Menurut Fahrizal, mikro media—yang kerap hanya dikelola oleh segelintir orang, bahkan kadang hanya satu orang—semakin menunjukkan taringnya di era digital, terutama di platform seperti Instagram dan TikTok. 

Ia menyebut, meski dijalankan dengan sumber daya yang terbatas, mikro media punya keunggulan pada fleksibilitas dan kecepatan beradaptasi dengan tren.

“Banyak mikro media yang hanya digerakkan oleh satu orang, tapi engagement-nya luar biasa. Mereka tahu cara bermain algoritma, tahu apa yang disukai audiens, dan bisa langsung turun ke lapangan tanpa perlu rapat redaksi,” kata Fahrizal.

Fenomena ini menurutnya menjadi sinyal penting bagi industri media. Jangkauan mikro media saat ini bisa menyamai, bahkan melampaui, media mainstream dalam hal sebaran konten dan interaksi pengguna. Ini menjadi pertimbangan besar bagi para pengiklan.

“Dari sisi bisnis, pengiklan tentu akan memilih media dengan jangkauan luas tapi biaya rendah. Dan saat ini, itu ya mikro media. Mereka lebih murah dibanding media mainstream, tapi hasilnya bisa setara,” ujar Fahrizal.

Hal ini diperkuat oleh tren pergeseran alokasi iklan, terutama dari sektor UMKM dan brand lokal yang lebih tertarik memasang iklan di akun-akun kreator lokal atau mikro media ketimbang membayar paket advertorial di media besar. Selain lebih terjangkau, pendekatan mereka terasa lebih personal dan relatable bagi audiens.

Meski demikian, Fahrizal tak menutup mata akan tantangan yang dihadapi oleh para pelaku mikro media. Monetisasi masih menjadi PR besar. Berbeda dengan media mainstream yang punya struktur bisnis berlapis—dari online portal, event organizer, hingga produksi video atau televisi—mikro media lebih bergantung pada pendapatan dari media sosial.

“Bertahan dari endorse atau paid promote mungkin bisa, tapi sangat fluktuatif. Hari ini ada brand masuk, besok belum tentu. Jadi butuh strategi monetisasi yang lebih matang,” kata dia.

Di sisi lain, Fahrizal mengingatkan bahwa keberlanjutan mikro media akan sangat tergantung pada konsistensi pembuat konten, serta kemampuan mereka membaca arah tren. Sebab di media sosial, relevansi adalah segalanya. 

“Kalau tidak konsisten atau telat baca tren, bisa cepat tenggelam,” tambahnya.

Meski demikian, ia percaya bahwa mikro media punya potensi besar untuk tumbuh menjadi ekosistem baru dalam industri informasi. Bahkan dalam beberapa kasus, mikro media sudah menjadi referensi utama warga, terutama untuk informasi lokal yang cepat dan aktual.

“Di Blitar misalnya, ada akun-akun mikro yang jadi rujukan warga soal jalan rusak, banjir, atau info event. Mereka bisa update lebih cepat dari media konvensional karena memang langsung dari lapangan,” jelas Fahrizal.

Transformasi ini menurutnya tidak berarti media mainstream akan mati, namun akan mengalami pergeseran peran. “Media besar harus beradaptasi. Mungkin bukan lagi jadi yang pertama kali menyampaikan informasi, tapi jadi pihak yang memperdalam, memverifikasi, atau memberi konteks lebih luas,” ujarnya.

Ia pun menyarankan agar media mainstream belajar dari cara kerja mikro media: lebih lincah, dekat dengan audiens, dan tidak terlalu birokratis. Di sisi lain, mikro media juga perlu belajar dari media besar, terutama dalam membangun keberlanjutan bisnis dan menjaga kredibilitas.

“Kolaborasi sebenarnya bisa terjadi. Bukan saingan, tapi saling melengkapi. Yang besar jadi tulang punggung verifikasi, yang kecil jadi mata dan telinga di lapangan,” tutup Fahrizal.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat dan pola konsumsi informasi yang terus berubah, masa depan media akan sangat bergantung pada siapa yang bisa beradaptasi dengan cepat, bukan siapa yang lebih besar. Di era digital ini, yang kecil bukan berarti lemah—kadang justru lebih gesit dan berdaya.