Ahmad Fahrizal Aziz |
Nama Ahmad Fahrizal Aziz barangkali belum sefamiliar penulis-penulis nasional, namun kiprah literasinya sejak lebih dari satu dekade patut mendapat sorotan.
Sejak tahun 2011, pria asal Blitar ini telah menulis lebih dari 1.000 karya nonfiksi, mayoritas berupa esai, baik di media cetak, blog pribadi, buletin kampus, hingga berbagai media daring lainnya.
Lelaki yang akrab disapa Fahrizal ini mengaku awalnya tidak langsung jatuh cinta pada esai. Ketika masih menjadi mahasiswa, ia lebih dulu tertarik menulis puisi dan cerpen.
Bahkan, sejak lama ia bercita-cita menjadi novelis. Namun seiring waktu, esai menjadi genre yang paling ia tekuni.
“Esai itu lebih gampang, lebih konkret. Ibarat orang makan, langsung tahu menunya,” ujarnya sambil tertawa.
Kecintaannya terhadap esai tidak lepas dari peluang publikasi di media cetak. Ia mengingat bagaimana rubrik-rubrik opini dan citizen journalism di media seperti Surya, Koran Pendidikan, hingga Kompas Kampus membuka jalan baginya untuk menuangkan gagasan.
“Kalau di Malang ada Koran Pendidikan, di Jatim dulu ada Citizen Journalism-nya Surya. Gak ada honornya sih, tapi bisa dikliping buat portofolio. Berguna banget kalau mau ajukan beasiswa atau program literasi,” kenangnya.
Karya-karyanya pernah muncul di media nasional seperti Jawa Pos dan Kompas, meskipun bukan di kolom opini utama. Selain itu, ia juga pernah aktif sebagai kontributor Majalah Suara Akademika, tempat ia menulis berbagai laporan dan liputan kegiatan mahasiswa.
Selain dunia media cetak, dunia blog juga menjadi wadah utama bagi Fahrizal. Di blog pribadinya, ia telah menerbitkan sekitar 970 esai yang ia tulis secara konsisten sejak kuliah.
“Kalau ditotal, ya jelas lebih dari 1.000 tulisan nonfiksi. Mayoritas esai. Yang di blog pribadi saja udah hampir 1.000,” jelasnya.
Meski dikenal lewat tulisan nonfiksi, Fahrizal tidak sepenuhnya meninggalkan dunia fiksi. Cerpennya pernah dimuat di majalah Story, dan beberapa puisinya muncul di rubrik sastra seperti Horison Kaki Langit. Ia juga kerap terlibat dalam proyek antologi cerpen dan puisi bersama komunitas literasi, jumlahnya telah mencapai puluhan.
Namun uniknya, meski produktif menulis dan memiliki portofolio yang terbilang kaya, ia tidak merasa pantas disebut “penulis”. Ia lebih nyaman menyebut dirinya sebagai blogger.
“Blogger itu lebih bebas, gak pretensius. Kalau orang mau nyebut penulis ya gak masalah, tapi mungkin lebih pasnya penulis digital,” kelakarnya.
Saat ditanya apakah akan mewujudkan cita-cita lamanya menerbitkan novel, Fahrizal menjawab dengan nada santai dan realistis.
“Naskah draft-nya sih sudah ada. Tapi gimana ya, ke depan itu orang masih baca buku gak, sih?” tanyanya, retoris.
Meski demikian, semangatnya dalam dunia tulis-menulis belum padam. Ia terus menulis, berbagi gagasan, dan menggerakkan komunitas literasi yang ia dirikan, seperti FLP Blitar dan Komunitas Muara Baca. Dengan dedikasinya yang konsisten, nama Ahmad Fahrizal Aziz menjadi contoh nyata bahwa semangat literasi bisa tumbuh dari pinggiran, tanpa harus menunggu pengakuan besar.
0 Komentar