Dalam satu dekade terakhir, geliat bisnis kafe di Blitar tumbuh pesat. Di setiap sudut kota, kita bisa menemukan kafe, kedai kopi, angkringan modern, hingga warkop kekinian.

Namun, di balik pertumbuhan itu, fenomena tutupnya banyak kafe juga tak bisa dihindari—bahkan beberapa brand besar pun tidak mampu bertahan.

Ahmad Fahrizal Aziz, aktivis literasi dan petualang kafe di Blitar, menjelaskan bahwa akar masalahnya bukan semata soal persaingan, melainkan karakter budaya ngopi masyarakat Blitar yang berbeda dengan kota-kota metropolitan.

Budaya Ngopi Blitar Berbeda dari Kota Besar

Menurut Fahrizal, hal pertama yang harus dipahami adalah persepsi masyarakat terhadap harga dan fungsi kafe.

“Di Blitar, segelas kopi Rp10.000 saja sudah masuk kategori middle budget. Jadi kalau kafe menjual kopi di atas itu, mereka harus menyiapkan value lebih kuat,” ujarnya.

Berbeda dengan kota besar seperti Surabaya, Malang, atau Jakarta yang menjadikan kafe sebagai ruang kerja, tempat rapat, atau ruang diskusi, masyarakat Blitar lebih menjadikan kafe sebagai tempat rekreatif, tempat melepas penat setelah aktivitas.

“Fungsi produktif seperti kerja dan meeting memang ada, tetapi masih terbatas segmennya,” tambahnya.

Value Lebih Penting dari Harga

Fahrizal menekankan bahwa harga bukan penentu utama. Jika value atau nilai yang ditawarkan kafe kuat, masyarakat bisa menafikan harga.

Kuncinya adalah suasana.

“Kafe itu sebenarnya ‘jualan’ utamanya adalah suasana. Orang rata-rata duduk 60 menit, bahkan lebih. Jadi atmosfer jauh lebih menentukan daripada harga,” jelasnya.

Di Blitar, dua konsep yang terbukti paling bertahan lama adalah:

  • Vintage ambiance
  • Green outdoor / garden vibes

Keduanya dianggap cocok dengan karakter rekreatif masyarakat Blitar: santai, nyaman, dan instagramable.

Konsep lain seperti angkringan modern juga banyak diminati, namun memerlukan pembeda yang jelas agar tidak tenggelam di tengah padatnya kompetitor.

Segmen Penting: Wifi yang Representatif

Selain harga dan suasana, akses internet menjadi faktor krusial bagi generasi muda Blitar.

“Banyak kafe dicari bukan karena menunya, tapi karena wifinya kompatibel buat unggah tugas kuliah atau kerja,” kata Fahrizal.

Wifi yang stabil, cepat, dan tidak memaksa pelanggan login berulang kali menjadi nilai tambah kuat.

Jika sebuah kafe mampu menggabungkan tiga aspek—harga realistis, suasana nyaman, dan wifi kuat—maka kafe tersebut memiliki value solid dan peluang bertahan lebih lama.

Tantangan Ekonomi: HPP dan Biaya Operasional yang Tinggi

Meski value bisa dibangun, tantangan terbesar kafe justru berada di sisi ekonomi.

Menurut Fahrizal, banyak pemilik kafe kurang memahami perhitungan HPP (Harga Pokok Produksi), sehingga salah dalam menentukan harga jual.

Apa yang membentuk HPP segelas kopi?

Umumnya meliputi:

  • Biji kopi atau bahan baku
  • Susu (jika minuman latte-based)
  • Gula / syrup
  • Cup atau gelas plastik
  • Listrik kompor / mesin espresso
  • Tenaga kerja barista
  • Depresiasi alat (mesin, grinder, brewer)

Untuk minuman latte misalnya, HPP sering berada di kisaran Rp8.000–12.000 per cup. Jika dijual Rp12.000–15.000, margin yang tersisa sangat tipis.

Belum termasuk:

  • Sewa bangunan
  • Gaji pegawai
  • Tagihan listrik yang tinggi
  • Biaya wifi bulanan
  • Bahan baku yang fluktuatif

Itu sebabnya, menurutnya, banyak kafe tutup bukan karena tidak memiliki pelanggan, tetapi karena margin keuntungan tidak sebanding dengan biaya operasional.

Harus Memahami Karakter Pasar Blitar

Ahmad Fahrizal Aziz menegaskan bahwa kafe yang ingin bertahan di Blitar tidak bisa meniru pola bisnis kota besar.

“Blitar punya karakter sendiri. Ketika kafe memahami fungsi rekreatifnya, memperkuat suasana, menjaga harga sesuai kultur lokal, dan menghitung HPP dengan benar, peluang bertahan akan jauh lebih besar,” tegasnya.

Di tengah persaingan yang padat dan biaya operasional yang terus naik, kafe yang mampu menggabungkan harga realistis, suasana kuat, dan pengalaman yang bernilai akan menjadi tempat yang tetap hidup di tengah derasnya perubahan tren ngopi di Blitar.